Selasa, 17 Maret 2009

Hakim

MENUJU HAKIM PERADILAN AGAMA YANG BERWIBAWA

Oleh : asmu’i syarkowi

Pada awal-awal tahun 90-an salah seorang Tuada Uldilag Mahkamah Agung yang bertanggung jawab mengurus Peradilan Agama, pernah melontarkan sinyalemen yang menurut saya menarik. Sinyalemen ini disampaikan ulang oleh mantan Hakim Agung yang juga mantan Direktur Badan Peradilan Agama Islam waktu itu, Zainal Abidin Abubakar ( alm ) ketika mengajar pada Pendidikan Hakim Pengadilan Agama Angkatan XI di Tugu Bogor. Apa yang menarik ?. Menurut penanggung jawab urusan teknis Peradilan Agama di MA itu kurang lebih adalah adanya sikap rendah diri pada diri Hakim Pengadilan Agama. Sebagai salah seorang yang terlibat langsung pada institusi Pengadilan Agama, saya agak ‘tersinggung’ ketika mendengarnya. Benarkah? Kalau benar mana bukktinya. Kalau benar apa masalahnya ? Setumpuk pertanyaan menyelimuti pikiran saya.

Dengan melihat realitas yang ada sinyalemen itu memang ada benarnya. Sekalipun tidak semua, secara umum ‘tampilan’ aparat peradilan agama memang seperti yang disinyalir beliau. Dan, menurut saya adalah wajar. Lihat saja dari segi tampilan gedungnya saja. Sebagian besar gedung PA, di samping kecil, jelek, atau tidak layak sebagai sebuah gedung peradilan, letaknyapun di lorong-lorong sempit, kebanyakan sulit di akses dengan roda empat. Setidak-tidaknya hal ini pernah diakui oleh Prof. Bagir ketika awal-awal memasuki ranah peradilan sebagai petinggi Mahkamah Agung RI.

Ketika era satu atap ini telah ada, atau lebih tepat dikatakan baru sebagian kecil, gedung Peradilan Agama ( PTA dan PA ) yang mendapat alokasi anggaran pembangunan fisik gedung. Sebagai tindak lanjutnya telah kini gedung PTA dan PA sudah terletak di jalan protokol dengan bangtunan gedung yang cukup megah.

Apa yang terjadi ? Tampilan gedungyang cukup representatif ternyata diikuti dengan kenecisan tampilan para aparat peradilan agama, tidak terkecuali para Hakimnya. Para Hakim bisa masuk gedung kantor dengan kepala tegak. Tidak harus menunduk karena kusen pintu yang kurang tinggi.

Apa yang dapat diambil pelajaran dari fenomena ini. Kemegahan bangunan fisik gedung tersebut ternyata cukup berpengaruh kepada tampilan para aparatnya. Atau dengan kalimat lain, tampaknya ketidaklayakan tampilan gedung juga ikut andil terhadap ketidak pe-de an tampilan aparat PA selama ini. Megahnya bangunan gedung, letak bangunan yang strategis, kebersihan ruanagan, sejuknya ruang kerja, telah membuat aparat PA cukup pe-de bekerja di PA. Lantas apakah hanya karena faktor itu penyebabnya?

Tidak!. Sudah lebih satu abad peradilan agama mengalami marjinalisasi. Bahkan, sekitar tahun 1948 ketika Supomo menjabat sebagai menteri Kehakiman pernah ada upaya menghapus PA dari sistem peradilan negara. Sauatu hal yang menurut saya ironis. Mengapa ? Penjajah yang sudah ratusan tahun berkuasa tidak berani menghapus eksistensi PA tetapi justru oleh bangsanya sendiri PA mau dilenyapkan.

Sekalipun usaha itu tidak berhasil bukan berarti serta merta PA eksis dalam arti sebenarnya. Pengakuan negara terhadap PA tampak masih setengah-setengah. Di satu sisi telah disebut sebagai salah satu sistem peradilan ( Simak UU Nomor 14 Tahun 1970 dan UU Nomor 1 tahun 1974 ). Akan tetapi disisi lain, keberadaannya masih harus tergantung dengan lembaga peradilan lain. Contoh yang paling nyata adalah adanya ‘kebijakan’ dari UU, bahwa semua putusan PA harus mendapat pengukuhan Pengadilan Negeri sebagaimana yang dimuat dalam ketentuan Pasal 63 ayat ( 2 ) UU Nomor 1 Tahun 1974. Suatu pasal yang mestinya tidak saja menyinggung perasaan aparat PA tetapi juga menyinggung Ummat Islam secara keseluruhan. Betapa tidak, keberadaan PA seolah berada di ketiak lembaga peradilan lain. Pada hal empat badan peradilan yang dimuat dalam ketentuan Pasal 10 UU Nomor 14 tahun 1970 mestinya harus berdiri sejajar. Secara hukum keberadaan pasal tersebut seolah menganulir filosofi ketentuan Pasal 12 UU no. 14Tahun 1970. Mengapa ? Secara jelas dan tegas Paal menghendaki kesederajatan semua lembaga peradilan. Secara psikhoinstitusional menyebabkan aparat PA rendah diri. Dengan kalimat yang lebih vulgar ketentuan Pasal 63 tersebut juga melecehkan sekaligus sebagai tantangan para aparat PA. Sebab. Aparat PA dianggap tidak layak dan tidak mampu mendapat pekerjaan tentang tugas-tugas peradilan.

Upaya mendongkrak PA terus dilakukan. Lahirnya UU Nomor 7 tahun 1989 memang telah mendongkrak keberadaan PA sebagai lembaga peradilan yang sesungguhnya. Ketatuan Pasal 63 ayat (2 ) yang menempatkan kedudukan PA sebagai peradilan semu telah dihapus oleh ketentuan Pasal 107 ayat (1) huruf (d) UU Nomor 7 tahun 1989. Untuk ‘melengkapi’ keberadaan PA sebagai lembaga peradilan sesungguhnya ini, telah diupayakan untuk mensejajarkan aparatnya. Pada tahun 1995 Ikatan Hakim Peradilan Agama ( IKAHA ) meleburkan diri ke dalam organisasi Ikatan Hakim Indonesia ( IKAHI ). Terlepas dari adanya aneka motif, mengapa hal itu ditempuh, yang jelas dengan meleburnya IKAHA ke dalam IKAHI telah membuka dunia pergaulan baru bagi Hakim Peradilan Agama. Hakim PA yang selama ini hanya bergaul dengan sesama Hakim PA yang nota bene muslim dan lulusan IAIN harus bergaul dengan seluruh Hakim dari peradilan lain yang nota bene dari berbagai macam latar belakang agama dan pendidikan tinggi hukum umum.

Khusus bagi hakim PA pada perjalanan berikutnya tampaknya memang kurang seperti yang diharapkan, kalau tidak boleh dibilang tidak sama sekali. Niat yang semula membaur demi kekompakan visi dan misi antar sesama Hakim ditanggapi setengah-tengah, kalau tidak boleh dibilang sinis, oleh sebagian anggota IKAHI ‘asli’. Sekalipun hal ini lebih terasa di tataran bawah. Masuknya IKAHA ke dalam IKAHI dianggap sebagai nimbrung popularitas. Maklum IKAHI waktu itu adalah salah satu organisasi profesi yang keberadaannya cukup disegani oleh masyarakat. Orang-orang yang berada di dalamnya sering dikonotasikan sebagai orang sakti. Lihat saja, Polisi mana yang berani memberi surat tilang kepada orang yang telah dapat membuktikan diri sebagai Hakim. Maka tidak heran jika bergabungnya IKAHA ke dalam IKAHI, kata salah seoraang teman akrab saya dari PN ( sekalipun dengan nada seloroh ) adalah sebagai upaya NU. Bukan Nahdlatul Ulama, tetapi Nunut Urip. Suatu guyonan yang kita rasakan bernuansa sinis, bukan?.

Dalam kenyataan, Hakim PA tetap canggung dan pada saat yang bersamaan Hakim PU tetap merasa superior. Di berbagai daerah apabila ada situasi mengharuskan pembentukan pengurus IKAHI antara Hakim PA dan PU sekalipun Hakim PA lebih senior seolah ‘wajib’ menduduki posisi di bawah. Jadi, penempatan personalia susunan kepengurusan IKAHI tidak atas dasar kompetisi dan kompetensi yang realistis tetapi atas pertimbanagan historis dan pragmatis. Secara historis Hakim PU lebih dahulu dikenal masyarakat sebagai hakim yang sesungguhnya dan secara pragmatis Hakim PU lebih mudah mengakses instansi lintas sektoral atau sebut saja Bupati dan wadyabalanya. Atas dasar kedua aspek itulah, maka para Hakim PU harus menjadi orang pertama pada setiap unsur kepengurusan.

Kemudahan mengakses Pemda dan instansi lintas sektoral memang sangat dibutuhkan. Hal itu hanya mungkin akan didapat apabila pengurus ‘pokok’ IKAHI dari unsur Hakim pada lingkungan PU. Dan, IKAHI selama ini memang kadung dikonotasikan sebagai orgaanisasi profesi yang dimiliki oleh para Hakim dalam lingkungan PU. Ketika Hakim PA masuk sebagai IKAHI maka akan mendapat berkah untuk memperoleh berbagai kemudahan tersebut. Berangkat dari pengalaman empiris seperti itulah sebutan Hakim PA sebagai NU sebagaimana guyonan kawan tadi menjadi relevan atau setidaknya ada benarnya. Sekalipun, secara konstitusi para Hakim PA dapat juga mengatakan : ah, yang benar aja !

Yang pasti sekarang terlepas setuju atau tidak, faktanya semua Hakim dari lingkungan PA yang dulu dalam wadah IKAHA, sejak sudah merjer ke dalam IKAHI. Juga terlepas dari semua komentar minor yang ada sebenarnya ada sisi lain yang tidak dimiliki oleh Hakim lingkungan peradilan lain, tetapi dimiliki oleh para Hakim PA. Sesuatu tersebut seperti :

  1. Dari segi akademik

Selama ini para Hakim non PA adalah alumni fakultas Hukum dari perguruan tinggi umum. Sebagian besar mereka, karena kurikilum yang ada, sudah pasti banyak yang tidak menguasai Hukum Islam secara baik. Sedangkan para Hakim PA adalah hampir semua lulusan Fakultas Syari’ah yang karena kurikulum yang ada harus dianggap menguasai Hukum Islam dengan baik. Prof. Padmo Wahyono, sebagaimana ditulis oleh Alamsyah Ratuperwiranegara, pernah mengatakan bahwa pada akhirnya hukum yang berlaku di suatu negara adalah hukum mayoritas. Dalam konteks Indonesia tentunya adalah Hukum Islam, karena mayoritas masyarakat adalah masyarakat Islam. Oleh karena Hukum Islam, dalam konteks pembangunan di bidang Hukum, sangat prospektif, maka ke depan yang berkompeten sebagai Hakim yang sesungguhnya secara ideal adalah para hakim dari lingkungan PA. Apalagi, saat ini juga sudah jarang dijumpai para Hakim lingkungan PA yang tidak pernah mengenyam pendidikan dari fakultas hukum di perguruan tinggi umum. Tetapi, hampir tidak ada para hakim non PA yang bersedia belajar secara spesifik tentang Hukum Islam di perguruan tinggi agama. Jadi, sebenarnya, secara akademik keilmuan hakim PA sudah melampaui para hakim non PA.

  1. Dari segi sosial kemasyarakatan

Sebagaimana diketahui para hakim PA rata-rata adalah berlatar belakang pendidikan tinggi agama. Gelar akademik yang dimiliki menempatkan mereka ke dalam jajaran elit keagamaan di manapun mereka berada. Mareka kadung mendapat stigma sebagai ahli di bidang agama. Posisi yang demikian menjadikan meraka sebagai rujukan umat dalam hal keilmuan. Itulah sebabnya sudah menjadi kebiasaan para Hakim PA di manapun berada sebagai tempat bertanya dan curhat umat mengenai persoalan-persoalan agama. Pada saat yang sama mereka juga harus tetap menjadi Hakim-hakim sebagaimana mestinya. Itulah sebabnya, adanya jargon : hakim PA adalah hakim di mata hukum dan ulama di mata masyarakat, menjadi sangat relevan.

  1. Dari segi integritas moral

Para hakim PA adalah insan-insan yang mempunyai integritas keilmuan yang relegius. Perspektif keilmuan mereka banyak mengandung ajaran-ajaran moral yang sangat urgen bagi kapasistannya sebagai penegak hukum seperti yang tertuang dalam lambang Hakim. Kewajiban berbuat adil sekalipun terhadap diri sendiri, laknat bagi para penyuap dan penerima suap, larangan hidup boros atau berfoya-foya, merupakan sebagain kecil contoh ajaran moral yang selalu akrab dan selalu terngiang ke manapun hakim PA berada. Para hakim PA kapanpun dan di manapun sadar betul terhadap statment Illahi : kaburo maqtan bagi yang dapat ‘berkata’ akan tetapi tidak mau melaksanakan. Oleh karena itu, kalau saat ini negara membutuhkan Hakim yang bermoral baik, sebenarnya secara ideal kepada para Hakim PA-lah negara tersebut berharap. Sebab, bagi Hakim PA ajaran moral tidak hanya dipahami secara sekuler, tetapi lebih dari itu merupakan sesuatu yang transenden.

Kalau sudah demikian, relevankah mendikhotomikan Hakim dari PA dan non PA dalam setiap even. Dan, bagi Hakim PA dengan kesadaran menganai 3 hal tersebut masihkah punya sikap MC seperti sinyalemen di atas?. Pertanyaan ini tidak perlu hanya dijawab dengan kalimat atau hanya dengan sikap dan tindakan nyata dalam praktek, tetapi juga hati nurani setiap kita, termasuk oleh para Hakim PA sendiri tentunya.

Jember, 18 Maret 2009

1 komentar:

  1. INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA

    Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
    Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan (karena terindikasi gratifikasi di Polda Jateng serta pelanggaran fidusia oleh Pelaku Usaha). Inilah bukti inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia.
    Quo vadis hukum Indonesia?

    David
    (0274)9345675

    BalasHapus