Senin, 09 Maret 2009

artikel

DI BALIK DEBAT NIKAH SIRRI
By Asmu'i Syarkowi
Beberapa waktu lalu polemik seputar nikah sirri lumayan ramai. Saking menariknya sampai-sampai salah satu TV swasta ternama menayangkan debat perihal nikah sirri tersebut. Para juru debatpun sangat bersemangat tampil. Saling beradu argumen dan saling mencari titik lemah lawan mewarnai acara debat. Dan, tentunya juga mengumbar sejumlah ayat dan hadits sebagai penguat 'hujjah' mereka. Satu hal yang sudah pasti, acara tersebut disudai tanpa adanya kesimpulan. " Para pemirsalah yang akan menyimpulkan sendiri", begitu kata sang pemandu acara.
Debat nikah sirri sudah berang tentu hanya salah satu dari sekian debat yang pernah ditayangkan TV tersebut. Atau, dengan kalimat lain, debat tentang nikah sirri merupakan salah satu contoh dari debat mengenai persoalan yang dialami oleh ummat Islam.
Saking terlalu seringnya penayangan debat serupa, terkadang penulis bertanya : mengapa para aktor debat tersebut begitu semangat?. Bukankan acara tersebut disaksikan oleh jutaan manusia. Lantas tidak merasa risikah jika mereka kemudian terpeleset lidah? Atau, tidak sadarkah mereka sedang berantem dengan sesama muslim?.
Sebagaimana kita tahu, TV adalah salah satu media yang sangat efektif menyebarkan informasi. Apa yang terjadi pada sautu ketika akan segera diketahui oleh jutaan orang. Dari berbagai lapiran masyarakat tentunya.
Penulis terkadang risih, ketika menyaksikan sesama ustad atau sesama kiyai saling bersitegang di televisi. Orang boleh bilang, itu konsekuensi demokrasi. Tapi, penulis melihat lain. Ketika antar ustad saling beradu argumentasi ada sesuatu yang mestinya disadari oleh para aktor debat. Ulah mereka di depan kamera sedang ditonton oleh jutaan orang. Ketika mereka tertawa, barugumentasi, dan sejumlah mimik lain pada saat itu juga jutaan orang memlototinya. Termasuk ketika mereka baku marah dan baku 'bantai'. Bukankah sebagaian materi hujjah tersebut ada yang tidak layak ditonton. Tidak layak karena poin ajaran tersebut sebenarnya urusan internal ummat Islam. Tidak layak diketahui 'orang lain'. Akan merugikan dari aspek dakwah jika diketahui orang lain. Apalagi pemirsa hanya mendengarkan secara sepotong-sepotong dan dari orang yang kompetensi pengetahuannya masih diragukan. Di samping itu, pemirsa juga tidak sadar bahwa pendapat para juru debat tersebut tidak merepresentasikan pendapat ummat Islam secara mayoritas.
SEbagai contoh saya risih ketika suatu ketika ada acara semacam debat yang menampilkan Mursalin dari FUI dengan Guntur Romli. Etika debat sudah tidak dijunjung. Perbedaan pendapat tidak dihargai. Ukhuwah Islamiyyah hanya jargon. Perbedaan pendapat merupakan rahmat, sulit dibuktikan. Huh, sesama muslim "berkelai". Ummat lain, bersorak atau prihatin, sama saja. Sama-sama merugikan dari aspek dakwah. La kalau sesama kawan sendiri dapat berkelai bagaimana dengan orang lain. Ujung-ujungnya Islam phobia muncul lagi.
Kalau sudah demikian, masihkan para juru debat muslim akan menghabiskan energinya untuk terus bertarung kata. Manfaatnya belum jelas, tetapi kerugiannya sudah jelas. BUkankah kita punya qaidah : Mencegah terjadinya kerugian jauh lebih penting dari pada mencari keuntungan ( Dar ul mafasid muqaddamun ala jalbi al mashalih ). Apalagi untuk debat yang belum jelas keuntungannya. Atau sekedar labih gaya, karena dapat tampil di TV???.
Jember, 9 Maret 2009
alamat e-mail : asmui.15@gmail.com

2 komentar:

  1. di alam demokrasi debat terbuka memang sebagai pembelajaran agar dewasa dalam menghadapi perbedaan. Akan untuk tema yang sensitif harus hati-hati. Jangan sampai ingin menjernihkan masalah malah menimbulkan masalah

    BalasHapus