Selasa, 17 Maret 2009

artikel TV

TV DAN ANAK KITA

Oleh : Drs.H.Asmu’i, M.H.

Saat ini siapa yang tidak kenal televisi (TV)?. Jawabnya tentu, hampir semua orang mengenal media yang satu ini. Kalau kita boleh mempersentase, barang kali 99,9 persen sudah mengenal TV. Hanya 0,1 persen saja yang tidak kenal TV, yaitu orang suku pedalaman yang memang tidak memungkinkan berhubungan dengan dunia luar, termasuk di dalamnya bayi dan tuna netra yang memang belum dan tidak bisa melihat benda. Pada hal, dulu sekitar tahun 70 an di negeri kita, atau lebih tepat di kampung saya, si kotak ajaib ini menjadi barang mewah. Hanya orang kaya saja yang memiliki. Itupun terkadang hanya terbatas dimiliki oleh orang penting dan berpendidikan. Model dan mereknyapun masih belum beraneka ragam seperti sekarang. Sekalipun hanya dalam bentuk TV hitam putih, sudah cukup menjadi tontonan menarik orang sekampung. Stasiun pemancarnyapun hanya tunggal, TVRI. Dan, yang pasti programa siarannyapun juga masih belum secanggih dan sevariasi sekarang.

Kini media yang juga sering disebut layar gelas ini kini hampir ada di setiap rumah. Malah tidak jarang dalam satu rumah sebuah keluarga memilki lebih dari 2 pesawat TV. Dengan berbagai ukuran, aneka stasiun pemancar dari dalam dan luar negeri, program acara yang sangat bervariasi dan menarik, dan tentunya semuanya tidak ada yang hanya hitam putih lagi, kini TV merupakan alternatif hiburan keluarga yang paling murah dan meriah.

Kehadiran aneka ragam stasiun TV, kini tampaknya juga membuat gedung-gedung bioskop gulung tikar dan tutup. Orang tidak lagi bersusah payah pergi nonton filem di luaran yang harus berdesak-desakan antri membeli tiket masuk. TV telah menyajikan semua filem-filem itu. Kalau tidak puas tinggal membelikan player VCD. Sambil berbaring dan minum kopi di tempat tidur bisa menikmati filem apapun sesuka hati dan asal mata mampu.

Dari sisi informasi tampaknya TV memang media paling murah dan efektif. Dengan TV kita bisa tahu kejadian meledaknya pesawat calenger, ambruknya gedung WTC, tahu ganasnya peristiwa tsunami di Aceh dan Sumut, robohnya tembok Berlin, mendengar jerit tangis para korban gempa di DIY dan sekitarnya. Hingar-bingarnya kota-kota di Jerman kerena menjadi adu laga para bintang sepak bola dan para maniaknya juga bisa kita saksikan dari dekat TV.

Seorang nenek tua di kampung saya yang buta huruf bisa mengerti dan resah akan panasnya dunia politik juga via TV. Tetangga-tetangga saya, di kampung yang hanya sebagai buruh tani dan tidak sekolah punya anak-anak dengan nama seperti nama-nama para artis sinetron juga karena TV.

Singkatnya, tampaknya TV memang telah menyajikan semuanya : hiburan, pengetahuan, dan hal-hal lain yang belum dimengerti orang.

Silahkan, miliki, silahkan menonton, dan silahkan memaksimalkan mencari hiburan via TV. Akan tetapi., sudahkah kita mencermati dampak TV tersebut bagi anak-anak kita?.

Kehadiran TV di samping mebawa manfaat, tampaknya juga menimbulkan segudang dampak negatif yang harus kita cermati. Ada pakar komunikasi yang malah menyebut TV sebagai agama masyarakat industri. Artinya, orang sekarang sudah belajar hidup dari TV. Di Amerika dulu TV disebut sebagai the second god atau Tuhan kedua. Anak-anak belajar tentang cara hidup, cara berpakaian, dan berjalan lewat TV. Kini mungkin TV sudah menjadi the first god. Mengapa? Hal ini disebabkan hampir semua kegiatan kehidupan kita dijadwal dan diatur oleh pesan-pesan TV. Misalnya saja sekarang ini sudah terjadi penjadwalan kembali semua kegiatan kita sehari-hari karena kehadiran TV. Hal ini tidak hanya terjadi di Negara kita, tetapi juga terjadi di negara-negara lain. Dalam suatu penelitian yang dilakukan LIPI di Sulawesi Selatan, para petani mengubah cara tidur mereka setelah kehadiran TV. Karena harus menonton filem menarik yang ditayangkan terakhir di TV, mereka harus tidur kira-kira pukul 01.00 dinihari. Akibatnya, mereka pergi ke ladang lebih siang dari biasanya. Secara jujur kitapun juga demikian. Sebagai contoh, ketika ada siaran pertandingan sepak bola pada piala dunia atau even olah raga lain yang kita sukai. Jadwal tidur kita seolah berubah. Akibat harus nonton pertandingan-pertandingan kesebelasan-kesebalasan dunia tersebut kitapun harus melek pada pukul antara pukul 01.00 sampai dengan 03.00 pagi dini hari. Pada hal dalam keadaan normal pada jam-jam tersebut kita dan seluruh keluarga kita biasanya masih mendengkur.

Selanjutnya, harap waspada juga di TV banyak pula tayangan filem atau sinetron yang menyajikan berbagai adegan kekerasan, kemesuman, dan adegan lain yang dari sisi edukatif pamali untuk ditonton anak-anak kita. Adegan filem yang dahulu hanya dapat disaksikan di tempat-tempat tertentu, dalam hal ini hanya di gedung bioskop, kini dapat dinikmati di setiap rumah kita. Adegan yang dahulu hanya boleh disaksikan oleh kalangan usia tertentu (baca : dewasa) kini seolah boleh dinikmati oleh siapapun, termasuk anak-anak kita. Lihat saja filem-flem laga yang menyajikan tindak kekerasan seperti gladiator, Taici Master, dan filem laga lain, seperti filem-filem bollywood. Filem-filem semacam itu tidak saja menjadi salah satu kegemaran kita, tapi juga anak-anak kita. Kitapun sangat sulit memberikan penjelesan kepada anak-anak kita. Ketika kita mencoba melarang anak-anak kita menonton adegan itu, kitapun sebagai orang tua spontan menjadi lawan anak-anak kita.

Sinetronpun juga demikian. Banyak adegan sinetron yang kurang mendidik kepada para remaja kita. Lihat saja banyaknya tema sinetron yang bertemakan percintaan, penampilan beberapa tokoh dalam cerita yang berpakaian tidak senonoh, seperti berpakaian mini, laki-laki mamakai anting-anting di hidung dan telinga. Dan, yang lebih memprihatinkan kita antara lain adalah ketika kita menyaksikan sinetron yang mengambil ide cerita dengan latar belakang kehidupan anak sekolah dan adegan-adegan itupun mereka lakukan ketika masih dalam keadaan berseragam sekolah tetapi, ternyata digarap dengan alur cerita dan adegan yang sama sekali paradoks dengan suasana ideal dunia Sekolahan yang identik dengan nuansa edukatif.

Mau contohnya ? Lihat saja adegan percintaan remaja secara liar dan vulgar, kenakalan anak-anak sekolah mengerjai gurunya, tawuran antar pelajar, dan perilaku negetif lain. Potret bobroknya sebagian kecil pelajar kita, kini tampaknya telah mendapat legitimasi dari berbagai tayangan di TV. Sebagai contoh, pada Senin malam ( 23/5/2005 ) saya nonton sebuah sinetron di sebuah stasiun TV swasta. Pada bagian ceritanya menurunkan adegan salah seorang pelajar yang menjadi tokoh cerita dikeroyok dengan dipukuli secara beramai-ramai. Pengeroyokan yang sampai menimbulkan memar dan berdarah disekujur tubuh itu dilakukan beberapa teman laki-laki sekelasnya yang berpakaian seragam sekolah yang kesemuanya memakai anting-anting di telinganya dan terjadi pada jam sekolah pula. Sedangkan, potret anak-anak berprestasi hasil jerih payah bapak-bapak guru seolah tenggelam bahkan dianggap seolah tidak pernah ada.

Lantas, akankah kita melarang anak-anak kita menonton ? Secara jujur siapa orang tua yang mempunyai kemampuan demikian ?. Dalam hal tayanganTV, kini barangkali lebih baanyak orang tua yang barada di posisi “dikendalikan” oleh anak, bukan orang tua yang mengendalikan anak. Lihatlah perilaku anak kita, di rumah mereka bisa menguasai remote control kapanpun.

Bagaimana dengan filem kartun ?.

Filem ini tidak kalah konyolnya. Lihat saja adegan-adegan dan dialog-dialog nakal yang ditampilkan. Bergai kata-kata jorok dalam dialog, adegan kekerasan, yang ada sebenarnya sudah tidak pas lagi untuk dikatakan, bahwa filem kartun itu hanya untuk anak-anak. Sebut saja filem dragon ball dan filem sincan. Malah filem yang disebut terakhir yang diangkat dari cerita komik ini sebenarnya di negari asalnya ( baca : Jepang ), dibuat untuk konsumsi orang dewasa. Di dalamnya terdapat adegan orang tua Sincan beradegan sedang melakukan hubungan seks. Dr. Murti Bunata, salah seorang peneliti dari Universitas Indonesia mengecam keras bila tayangan filem tersebut disuguhkan kepada anak-anak ( Gamma, 17-23/1/2001 ). Yoshita Usui, pengarang komik tersebut, sebenarnya bermaksud menyajikan humor yang berbau seks itu untuk orang dewasa dengan objek anak-anak. Maka jangan heran jika dialog-dialog konyolnya juga bernuansa seks. Ironinya, di Indonesia yang menggemari filem itu justru anak-anak kita. Bahkan, anak-anak kita yang masih usia Sekolah Dasar. Gara-gara filem-filem kartun dari berbagai stasiun TV itu, anak-anak kita sangat sulit meluangkan waktu untuk membaca buku. Intinya, karena TV kita juga mengalami kesulitan membudayakan anak kita belajar atau membaca. Sebagai contoh, setidaknya pernah ada seorang kawan saya yang guru SD mengeluhkan kemerosotan prestasi belajar murid-muridnya karena TV.

Jika kemudian ada perilaku negatif atau sejumlah dampak negatif lain sehabis nonton TV, lantas TV atau kitakah yang salah?. Jawabnya, tentu masih pro dan kontra dan akan menjadi perdebatan panjang. Tergantung dari sudut pandang mana dalam memandang.

Akan tetapi, terlepas dari adanya perbedaan sudut pandang tersebut, kedua pihak, yaitu TV sebagai penyaji tayangan dan kita sebagai penonton harus sama-sama saling memahami posisi masing-masing.

Di satu pihak, TV sebagai salah satu media, tentunya dituntut untuk ikut bertanggung jawab kepada masa depan anak-anak bangsa di negeri ini. Tayangan yang bernilai edukatif, tanpa mengesampingkannya unsur hiburan dan komersial sudah waktunya menjadi komitmen semua pihak yang terlibat dalam dunia per-TV-an. Tontonan yang bernilai tuntunan sangat kita harapkan muncul dari media yang sangat populer ditonton ini. Dengan demikian, yang kita persoalkan sebenarnya bukan kehadiran TV, tetapi program acaranya. Membuat program siaran sendiri yang seperti yang kita inginkan tersebut sekaligus tidak merugikan pihak TV dari sisi komersial, mungkin sangat sulit dan mahal yang karenanya kita membeli atau meniru saja program-program siaran dari luar negeri, termasuk filem-filemnya. Tetapi, apalah artinya kesulitan dan kemahalan tersebut jika dibanding dengan masa depan anak-anak bangsa yang harus menjadi korban program-program siaran TV yang tidak edukatif tersebut.

Di pihak lain, kita sebagai masyarakat pemirsa, juga harus mengetahui posisi pihak TV sebagai bagian dari media. Banyaknya tayangan yang mungkin dapat berakibat negatif bagi anak kita, harus kita sikapi dengan arif. Sikap arif tersebut antara lain adalah untuk tidak selalu mengkambinghitamkan TV. Memanaj anak-anak kita dalam nonton siaran yang ada dan membekali anak kita sedini mungkin dengan pengetahuan dan moral agama dan tradisi luhur nenek moyang kiranya merupakan salah satu sikap yang kita perlukan. Sebab, bisa saja seluruh TV dalam negeri membuat program siaran yang baik. Tetapi, begaimana jika, dengan parabola yang kita,miliki anak-anak kita justru memilih siaran luar negeri ?

Jadi, nonton TV itu sebenarnya seperti kita bertinju. Agar kita dapat menfaat dari tinju, kita harus melakukan persiapan yang matang. Kalau tidak, kita tidak akan mendapat manfaat tinju tetapi justru kita yang akan roboh knockout (KO) terkena pukulan. Tentunya kita juga tidak menginginkan anak-anak kita KO masa depannya hanya karena nonton TV bukan ? Waspadalah… Waspadalah..!,( minjam istilah bang Napi di RCTI ).




BIO DATA PENULIS

Nama : Drs. Asmu’i Syarkowi, M.H.

Tempat/Tgl Lahir : Banyuwangi/ 15 Oktober 1962

Pendidikan : S-1 Institut Agama Islam Negeri Yogyakarta 1988

S-2 Universitas Muslim Indonesia Makassar 2001

Pekerjaan : Hakim Pengadilan Agama Jember

Alamat : asmui.15@gmail.com

2 komentar:

  1. Saya setuju dengan pendapat bapak...
    Kita sebagai orang tua harus selektif dalam memilih acara, kususnya pada jam-jam sebelum anak-anak kita tidur....

    BalasHapus